Pdt. Benny Giyai |
PAPUAN, Jayapura --- Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (KINGMI) Papua, Pdt. Benny Giay membantah pemberitaan di sebuah koran lokal, Edisi 28 Juni 2014, yang menyebutkan Tiba Tabui (40), yang ditangkap di Distrik Balingga, Jayawijaya, karena membawah senjata adalah pendeta Gereja KINGMI Papua.
“Kami saat ini undang teman-teman wartawan untuk klarifikasi pernyataan tersebut, bahwa Tiba Tabuni tidak terdaftar di Gereja kami sebagai pengerja atau pendeta,” ujar Pdt. Benny Giay, saat memberikan keterangan kepada wartawan, di Kantor Sinode KINGMI, Jayapura, siang tadi.
Menurut Giay, sudah dua tahun dirinya mendata seluruh tenaga pengerja Gereja KINGMI Papua yang berada di 84 Klasis, 12 Koordinator Wilayah, dan semua Gereja-gereja, namun tidak ditemukan nama Tiba Tabuni.
“Kami juga tidak ada Gereja atau jemaat di Distrik Balingga, Jayawijaya, seperti yang disebutkan di koran. Sehingga, kami terpaksa mengajak wartawan tolong kami untuk klarifikasi hal ini,” kata Giay.
Sebagai pimpinan tertinggi Gereja KINGMI, Giay menghimbau kepada wartawan, jika ada berita yang terkait dengan Gereja KINGMI, dapat segera menanyakan langsung kepada pihak Gereja, agar mendapat informasi yang berimbang.
“Tolong kroscek dengan kita, karena dengan kejadian ini, maka agak benar kalau umat kami balik menuding pemuatan berita secara sepihak sebagai bagian dari pihak-pihak yang menuding atau menstigma kami selama ini. Ini sudah menyangkut institusi Gereja,” tegasnya.
Selama ini, lanjut Giay, memang secara resmi, atau diam-diam ada pihak-pihak yang menuding Gereja KINGMI Papua sebagai Gereja separatis.
“Tuding menuding seperti itu kami pikir hak mereka, tetapi kami juga punya hak untuk klarifikasi atau memberikan penjelasan kepada semua pihak.”
“Kami tidak heran dengan cara-cara itu, karena saya ada buku di rumah, bahwa para haji dan para Kiay-kiay di Jawa, Sumatera, dan Madura sekitar 1920 sering kali dicap sebagai ekstrims atau nasionalis, dengan demikian sering intel Belanda awasi mereka. Kami barang kali pikul salip yang dulu sering mereka pikul,” tegas pendeta yang meraih gelar doctor di Belanda ini.
Terkait kebenaran data media yang menuliskan berita tersebut, menurut Giay, yang selama ini ia tahu ,adalah Distrik atau kampung Balingga berada di Kabupaten Lanny Jaya, bukan Kabupaten Jayawijaya.
“Dalam sejarah Gereja, dulu tahun 1950 ada semacam pembagian wilayah, ada wilayah yang khusus untuk Gereja GIDI, juga ada yang khusus untuk Gereja Baptis, dan harus permisi kalau Gereja lain mau masuk ke daerah-daerah itu, kecuali kalau di kabupaten dan kota.”
“Dulu kita mau masuk, karena ada banyak petugas kita disana, tapi tidak jadi karena teman-teman tidak mengijinkan, makanya tidak tidak ada gereja KINGMI di Balingga. Memposisikan Balingga di Jayawijaya itu saya kira tidak benar dan keliru,” tegasnya.
Ditambahkan oleh Sekertaris Sinode KINGMI Papua, Yunior Pakage, bahwa pernyataan yang dimuat di koran sebagai bagian dari lanjutan stigma negatif yang telah lama diberikan beberapa pihak.
"Saya sudah periksa data-data dari hamba Tuhan, dan kami tidak ada hamba Tuhan yang nama demikian. Tidak ada Gereja kami di distrik di Balingga. Sehingga kami rasa ini tuduhan yang tidak benar, dan menyudukan Gereja KINGMI,” kata Pakage.
Namun, sebagai pimpinan institusi keagamaan, lanjut Pakage, "Kami prihatin dengan apa yang terjadi pada masyarakat yang bawa senjata. Mungkin harus dilihat baik-baik, persoalan apa yang membuat mereka bahwa senjata?”
“Kalau orang bawa senjata tentu ada persoalan. Kami prihatin dengan orang yang ditangkap. Sekarang persoalan apa sehingga mereka bawah senjata itu yang perlu dicari tahu,” pungkas Pakage.
SUMBER : SUARA PAPUA / OKTOVIANUS POGAU
Posting Komentar